Sindroma Guillain-Barre (GBS), Manifestasi Klinis dan Penanganannya

Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer

Sindroma Guillain-Barre adalah penyakit poliradikuloneuropati demielinasi monofasik yang idiopatik, akut, dan sebagian besar reversibel. Sebagai patofisiologi kelainan ini, diduga terdapat gangguan dari respon autoimun yang menyerang saraf tepi, yakni myelin dan/atau mungkin antigen aksolemnal. Pada dua pertiga kasus, paralisis flasid ini didahului oleh penyakit infeksi.

Pada bentuk sindroma sensorimotor yang klasik, kelemahan terjadi secara akut dalam hitungan hari, ataupun subakut alam waktu 2-4 minggu. Paresis yang terjadi umumnya terdistribusi secara simetris dan refleks tendon akan berkurang atau hilang. Terdapat bermacam varian dari sindroma Guillain-Barre, antara lain bentuk motorik murni, Miller-Fisher, dan bentuk aksonal primer.

Diagnosis dilakukan berdasarkan gambaran dan temuan klinis, serta pemeriksaan penunjang yakni pemeriksaan elektrofisiologis yang menunjukkan adanya demyelinasi serta meningkatnya protein pada pemeriksaan cairan serebrospinal. Namun pada minggu pertama setelah onset, baik perubahan demyelinasi pada hantaran saraf dan peningkatan protein ini dapat tidak ditemukan.

Penatalaksanaan Awal

Pada kasus berat, sangat dibutuhkan alat bantu pernafasan serta perawatan khusus. Sekitar 30% penderita membutuhkan bantuan ventilasi mekanik; selain itu kondisi pasien yang cepat memburuk tanpa dapat diprediksikan membuat penderita GBS membutuhkan perawatan inap untuk observasi fungsi respirasi.

Perhatian khusus terutama ditujukan pada perawatan suportif dan pencegahan komplikasi, antara lain kegagalan nafas dan disfungsi otonomik. Pengukuran maksimal forced vital capacity (FVC), gas darah arterial, tekanan darah, dan fungsi otot bulbar harus selalu dimonitor selama fase progresif. Tanda gagal nafas antara lain perburukan FVC, tekanan maksimal respirasi, dan hipoksemia akibat atelektasis. Fatigue otot respirasi ditandai dengan keringat dingin, takikardia, dan nafas cepat diantara percakapan pendek. Monitoring FVC dilakukan setiap jam, jika FVC kurang dari 18 ml/kg atau terjadi disotonomia kardiovaskuler, penderita harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Intubasi dilakukan bila FVC kurang dari 12-15 ml/kg, tekanan O2 arteri dibawah 70 mmHg serta tanda fatigue respirasi yang berat. Trakeostomi dilakukan bila diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari. Keputusan untuk menghentikan alat bantu nafas dan melepaskan selang endotrakeal atau trakeostomi didasarkan pada derajat penyembuhan fungsi respirasi. Proses weaning umumnya dimulai saat kapasitas vital mencapai kurang lebih 10 ml/kg dan dapat dipertahankan selama beberapa jam.

Terapi fisik dada dan spirometri insentif membantu mencegah atelektasis pada pasien dengan gangguan batuk dan nafas. Aritmia jantung dan fluktuasi tekanan darah membutuhkan monitoring EKG dan tekanan darah, sehingga deteksi keadaan yang mengancam jiwa dapat tercapai. Injeksi heparin subkutan 5000 unit, 2 kali sehari diindikasikan untuk mengurangi resiko thrombosis vena dan emboli paru.

Di ICU, satu dari empat pasien GBS menderita infeksi paru-paru dan saluran kemih, sehingga dibutuhkan terapi antibiotika yang sesuai1 Antibiotika profilaksis tidak dianjurkan pada penderita ini. Perawatan jalan nafas, sistem drainase urin tertutup, dan pencucian tangan secara rutin oleh pekerja medis untuk mencegah infeksi nosokomial. Dilakukan perawatan harian rutin dengan mobilisasi miring kanan/kiri,11 memposisikan anggota gerak dalam posisi anti dekubitus; serta perhatian lebih, terutama untuk kulit, mata, mulut, usus besar dan kandung kemih, serta nutrisi.

Pada kasus kelumpuhan bifasial, diberikan air mata buatan dan taping kelopak mata untuk mencegah iritasi kornea. Pada fase paralitik, dilakukan latihan lingkup gerak sendi secara pasif dua kali sehari untuk meningkatkan fleksibilitas anggota gerak. Penggunaan padded splint ditujukan sebagai pencegahan kontraktur dorsifleksi pergelangan kaki. Dukungan psikologis dan jaminan adanya potensi kesembuhan sangatlah dibutuhkan. Pada fase penyembuhan, terapi fisik akan mempercepat penyembuhan,  antara lain berupa latihan lingkup gerak sendi serta latihan dengan tahanan ringan.

 Terapi Spesifik

Imunopatogenesis dari penyakit GBS, terapi akut ditujukan terutama untuk melawan proses imunopatogenesis, antara lain terapi pertukaran plasma (plasmapheresis) dan injeksi immunoglobulin dosis tinggi intravena (IVIG). Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga berat (didefinisikan sebagai kemampuan berjalan dengan bantuan atau tidak mampu berjalan sama sekali). Jadwal plasmapheresis berkisar antara 4 hingga 6 kali (40-50 ml/kg) dengan mesin kontinu selang sehari. Digunakan larutan saline dan albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat terapi paling jelas apabila terapi dimulai 2 minggu setelah onset. Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu pasca-terapi. Perbandingan manfaat terapi IVIG  sebanyak 0,4 g/kg sebanyak 5 kali per hari pada 2 minggu pertama onset dengan terapi plasmapheresis, namun hasilnya belum tervalidasi dengan jelas. IVIG mungkin dipertimbangkan pada pasien dengan masalah akses vena, sepsis, instabilitas kardiovaskuler, ataupun penderita yang gagal setelah diterapi dengan plasmapheresis. Penggunaan kortikosteroid telah disarankan untuk terapi GBS, namun setelah dilakukan dua uji klinis acak terkontrol; yakni menggunakan dosis konvensional prednisolon dan dosis tinggi metilprednisolon intravena, terbukti bahwa penggunaan kortikosteroid ternyata tidak bermanfaat. Rekomendasi terapi berdasarkan studi acak terkontrol; dimana diberikan terapi plasmapheresis dan IVIG, namun tidak dengan kortikosteroid ataupun kombinasinya

Terapi pada fase akut ditujukan terutama untuk melawan proses imunopatogenesis, termasuk plasmapheresis dan infus immunoglobulin dosis tinggi. Monitoring adanya gangguan otonom dan perawatan intensif telah memperbaiki prognosi penderita sindroma Guillain-Barre.

Selama rehabilitasi, perbaikan fungsi yang signifikan dapat dilihat dengan metode pengukuran standard. Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus sindroma Guillain-Barre, yakniproblem muskuloskeletal kardiopulmonari sensori gangguan sistem saraf otonom. Pada pelaksanaan rehabilitasi medik, masing-masing bentuk latihan dilakukan dengan berdasarkan pada tahap penyembuhan pasien, yakni tahap awal dan lanjut.

Pada tahap awal atau fase progresif, rehabilitasi terutama ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi; sehingga pada tahap ini masalah kardiopulmoner dan muskuloskeletal menjadi fokus perhatian utama. Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan. Pada tahap akhir, yakni masa penyembuhan, rehabilitasi ditujukan lebih kepada peningkatan fungsi, terutama peningkatan kekuatan otot serta peningkatan fungsi penderita secara maksimal. Namun,  fungsi paru tetap harus dijaga dan ditingkatkan untuk mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisme. Rehabilitasi terhadap modalitas sensorik juga perlu dilakukan. Diperlukan adanya kerjasama antar anggota tim medik yang baik dari tahap awal hingga akhir, karena akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, yakni supaya penderita dapat berfungsi secara maksimal dengan segala keterbatasan atau impairment dan disabilitasnya.

Komplikasi

Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.

Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut:

  • Paralisis otot persisten
  • Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
  • Aspirasi Retensi urin
  • Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
  • Nefropati, pada penderita anak
  • Hipo ataupun hipertensi
  • Tromboemboli
  • pneumonia
  • ulkus
  • Aritmia jantung
  • Ileus

Prognosis

Prognosis buruk dihubungkan dengan perburukan gejala yang sangat cepat, usia tua, penggunaan ventilator jangka panjang (lebih dari 1 bulan), dan berkurangnya potensial aksi pada pemeriksaan neuromuskuler. Sebuah laporan menyebutkan kesembuhan sempurna pada 50-95% kasus. Peningkatan jumlah protein enolase spesifik pada pemeriksaan cairan serebrospinal dihubungkan dengan durasi penyakit yang lebih panjang. Meningkatnya IgM anti-GM1 memprediksikan lambatnya penyembuhan.

Sekuelae neurologis dilaporkan pada 10-40% kasus; yang paling buruk adalah tetraplegia yang muncul dalam 24 jam dengan masa penyembuhan yang tidak sempurna setelah 18 bulan atau lebih. Sekuelae paling ringan adalah kesulitan berjalan derajat ringan, dengan penyembuhan dalam beberapa minggu. Namun yang paling sering didapat adalah puncak gejala dalam 10-14 hari dengan masa penyembuhan dalam hitungan minggu hingga bulan. Rata-rata masa perawatan dalam ventilator adalah 50 hari. Angka mortalitas bervariasi dari 5 hingga 10%; sebagian besar akibat instabilitas otonomik ataupun akibat komplikasi intubasi lama, paralisis,2 dan aritmia. Sekitar 10% penderita tidak sembuh sempurna dan tergantung pada kursi roda, ataupun hidup dengan kelemahan atau kesemutan permanen.

Perjalanan penyakit penderita dewasa dan anak hampir sama, namun menurut Sarada et al (1994), penderita anak memiliki prognosis berjalan secara mandiri yang lebih baik dibandingkan dewasa. Sekitar 35% penderita hidup dengan disabilitas jangka panjang, sementara 38% penderita harus melakukan modifikasi pekerjaan akibat penyakitnya; 44% kasus mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas di waktu senggang dan dalam keadaan psikososial yang kurang baik.

 

 

supported by

CHILDREN GRoW UP CLINIC Yudhasmara Foundation Inspirasi Orangtua Cerdas, Tumbuhkan Anak Semakin Sehat, Kuat dan Pintar

  • CHILDREN GRoW UP CLINIC I Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat 10210, phone (021) 5703646 – 44466102
  • CHILDREN GRoW UP CLINIC II MENTENG SQUARE Jl Matraman 30 Jakarta Pusat 10430, phone (021) 44466103
  • email :
  • http://childrengrowup.wordpress.com

WORKING TOGETHER FOR STRONGER, SMARTER AND HEALTHIER CHILDREN BY EDUCATION, CLINICAL INTERVENTION, RESEARCH AND NETWORKING INFORMATION . Advancing of the future pediatric and future parenting to optimalized physical, mental and social health and well being for fetal, newborn, infant, children, adolescents and young adult

LAYANAN KLINIK KHUSUS “CHILDREN GRoW UP CLINIC”

  • Children Allergy Clinic Online
  • Picky Eaters Clinic (Klinik Kesulitan makan Pada Anak) dan GROW UP CLINIC (Klinik Khusus Gangguan Pertumbuhan Berat badan Anak)
  • Children Foot Clinic
  • Children Rehabilitation Clinic
  • Children Speech Clinic
  • Pain Management Clinic Jakarta
  • Medicine Baby Gym & Children Massage
  • NICU – Premature Follow up Clinic

PROFESIONAL MEDIS “CHILDREN GRoW UP CLINIC”

  • Dr Narulita Dewi SpKFR, Physical Medicine & Rehabilitation
  • Dr Widodo Judarwanto SpA, Pediatrician
  • Fisioterapis

Clinical – Editor in Chief :

Dr WIDODO JUDARWANTO SpA, pediatrician

  • email :
  • curriculum vitae
  • For Daily Newsletter join with this Twitter https://twitter.com/WidoJudarwanto

Information on this web site is provided for informational purposes only and is not a substitute for professional medical advice. You should not use the information on this web site for diagnosing or treating a medical or health condition. You should carefully read all product packaging. If you have or suspect you have a medical problem, promptly contact your professional healthcare provider

Copyright © 2012, CHILDREN GRoW UP CLINIC Information Education Network. All rights reserved

About these ads

Tentang GrowUp Clinic

In 1,000 days Your Children, You can change the future. Our Children Our Future
Tulisan ini dipublikasikan di ***Penyakit Berbahaya dan tag , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Sindroma Guillain-Barre (GBS), Manifestasi Klinis dan Penanganannya

  1. Dwi Aiyu Hani berkata:

    assalamualaikum,,,sodaraku setanah air.
    saya dwi aiyu hani.saya juga pernah menglami penykit ini yg dsebut GBS..saya melawan penykit ini selama 4blan di RS DR.SOETOMO SBY dan pngobtan brjln drmah.alhamdillah ALLAH telah mendengarkan keinginan saya untuk menghrup udra bebas.dan sudah tidak harus ketergantungan dengn obatan-obatanya lagi.memang btuh ksbran dan ketbhan yang bnar-bnar besar untuk mlwan pnykit ini.
    jdi saya ingin mnympaikan kpada siapa saja,terutama kpda pnderita GBS…TETAP SEMANGAT,,YAKIN BAHWA KALIAN PASTI BISA SEMBUH DAN NORMAL KEMBALI. :-)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Gravatar
WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Logout / Ubah )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Logout / Ubah )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Logout / Ubah )

Google+ photo

You are commenting using your Google+ account. Logout / Ubah )

Connecting to %s