Amburadulnya Vonis Hakim Artidjo, Akibat Keterbatasan Pemahaman Medis
Mahkamah Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari Dr Artidjo Alkostar, Dr Dudu Duswara dan Dr Sofyan Sitompul dalam pertimbangannya menyatakanpara terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluhkan putusan hakim agung Artidjo Alkotsar kepada dr Ayu dkk. Tiga dokter yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Hal utama yang ditimbulkan dalam masalah ini adalah penilaian tindakan medis selalu berbeda antara kaca mata masyarakat awam dan kaca mata dokter karena latar belakang pengalaman dan pemahaman pengetahuan berbeda meski dokter Artidjo merupakan sosok hakim agung yang berintegritas tinggi. Vonis Hakim Agung tersebut menjadi amburadul takkala sang Hakim tidak mempunyai pemahaman dan pengetahuan tentang medis.
Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Namun MA tidak berkopeten dan bukan ahlinya dalam menilai kasus kedokteran. Jangankan orang awam, bahkan dokter umum, dokter spesialis anak atau dokter ahli forensikpun tidak berkopeten menilai salah benarnya tindakan dokter Ayu karena yang berkopeten menilai adalah dokter spesialis obsetri ginekologi yang ahli di bidangnya. Idealnya malpraktek harus diadili di Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Namun sayangnya banyak orang mencurigai bahwa dokter akan selalu melindungi sejawatnya
Permasalahan yang timbul saat ini adalah kematian penderita yang ditangani dokter Ayu meninggal. Adalah menjadi hal yang sering dihadapi para dokter dan dilakukan masyarakat awam. Tetapi ketika pasien meninggal maka keluarga atau penegak hukum akan selalu mencari kesalahan dokter sekecil apapun untuk mempertanggung jawabkan kematian pasien. Tetapi saat sembuh dan berhasil sehat penderita tidak akan pernah mencari kesalahan dokter tetapi justru tidak menghargai dokter karena dianggap tarifnya mencekik leher. Padahal pembebanan total biaya perawatan secara keseluruhan biaya tarif dokter hanya kurang dari 10% dari total biaya secara keseluruhan. Dalam kasus ini keluarga merasa tidak puas karena dokter Ayu dianggap malpraktek karena berbagai hal. Sedangkan pihak dokter Ayu merasa telah benar sesuai prosedur. Karena ketidakpuasan tersebutlah akhirnya pihak keluarga memperkarakan ke ranah hukum. Sampai di sini tidak masalah karena hak pasien atau warga negara untuk memperoleh keadilan. Masalah timbul ketika penegak hukum dalam hal ini hakim pengadilan negeri dan Hakim Agung yang menilai dalam segi hukum, dalam menilai benar tidaknya prosedur medis. Mulai dari sinilah semua permasalahan masalah timbul. Bila tindakan medis dan prosedur medis dinilai oleh orang awam tidaklah mudah karena butuh pengalaman dan pengetahuan medis yang mumpuni untuk menganalisa dan menilai tindakan medis seorang dokter. Hakim sama dengan masyarakat awam, tidak mempunyai keterbatasan pengetahuan medis maka penentuan terhadap vonis kealpaan dan malpraktek akan menjadi suatu kesalahan yang fatal.
Penilaian Awam vs Penilaian Medis
Penentuan malpraktek adalah masalah klasik yang akan terus terjadi. Pihak awam yang sering tidak puas selalu menilai bahwa tindakan dokter salah dengan kacamata awam. Masyarakat awam dalam hal ini keluarga pasien dan hakim Artidsjo menilai benar tidaknya masalah ini dengan keterbatasan pengetahuan dan pemahaman medis. Sedangkan pihak medis dalam hal ini Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran menyatakan tidak ada kesalahan. Sosok senior dan integritas tinggi Hakim Agung Artdjo bukan merupakan jaminan kehebatan kiprah hukumnya bila mempunyai keterbatasan dalam menilai tindakan medis seseorang terdakwa.
Perbedaan pemahaman masalah benar tidaknya masalah medis akan berbeda tergantung pengalaman dan pengetahuan medis seseorang. Contoh ringan yang sering terjadi, orang awam dalam menilai kegawatan akan berbeda bila dokter menilai dalam menentukan kewagatan dalam individu yang sama. Dalam masalah dasar saat menilai kondisi medis gawat, kondisi berat dan kondisi normal memang tidak mudah. Contoh hal ringan dalam menilai kegawatan saja. Sebagian kalangan awam menganggap semua orang sakit apalagi keluarganya selalu mengalami kecemasan berlebihan saat di rumah sakit. Sehingga menganggap semua penyakit yang dialami keluarga adalah gawat karena sebelumnya sehat. Sedangkan dokter dan para medis khususnya yang menerima pasien dalam jumlah banyak harus pintar memilah dan memilih prioritas kegawatan pasien untuk dilayani terlebih dahulu. Sehingga saat penderita kegawatan yang utama dilayani terlebih dahulu pasien kegawatan lain yang bukan prioritas utama sering kecewa dan merasa ditelantarkan.
Saat seorang ibu tergopoh-gopoh sedang mengantri di Rumah Sakit menganggap anaknya gawat dan panas tinggi dan minta segera didulukan untuk diperiksa dokter karena antrian dokter anak yang dikunjungi sangat panjang. Hal ini bisa terjadi karena ibu tersebut malas menunggu lama atau memang benar cemas karena kondisi anak. Dalam hal ini yang menentukan kegawatannya adalah suster jaga di meja terima pasien. Saat suster menentukan bahwa itu bukan kegawatan dan sementara minum obat demam dulu. Ternyata suster benar, saat belum diminumkan obat demampun anak sudah berlarian kesana-kemari di ruangan tunggu dokter yang penuh mainan anak. Penilaian dengan persepsi berbeda tentang kegawatan inilah yang mengakibatkan banyak pasien mengeluh sering ditelantarkan saat dalam antrian di UGD.
Demikian juga dalam menilai dugaan malpraktek dokter Ayu. Hakim Agung melakukan kesalahan fatal ketika menganggap dokter Ayu salah karena tidak memeriksa jantung dan foto rontgen saat kedapatan pasiennya mengalami takikardi dan detak jantung yang meningkat. Taki kardi dan detak jantung meningkat paska operasi adalah merupakan manifestasi klinis gangguan emboli yangh mengganggu jantung. Semua gangguan yang berat pada tubuh pada akhirnya selalu menganggu fungsi jantung. Hal ini yang disalah persepsikan oleh hakim agung bahwa dokter tidak mencegah dengan memeriksa jantung sebelumnya padahal pasien tidak mempunyai riwayat jantung sebelumnya. Dalam keadaan ini pemeriksaan jantung dan rontgen paru tidak dibutuhkan. Kalaupun seandainya pasien ada riwayat gangguan jantung dalam keadaan darurat hal itu tidak harus dilakukan selama kondisi jantungnya tidak masalah sebelumnya.
Demikian juga dalam menilai aktifitas dan prosedur medis sebuah kasus. Tidak mudah untuk menilai seseorang dokter melanggar prosedur medis atau tidak. Meskipun sudah ada standar medis yang ada tidak semua orang bisa menganalisa dan menilai apakah tindakan dokter tersebut sudah sesuai atau tidak. Bukan hanya kalangan awam yang buta masalah medis, bahkan dokter umum, dokter anak atau dokter ahli forensikpun yang berlatar belakang medispun sebenarnya belum tentu memahami sepenuhnya masalah medis di bidang kedokteran obsetri ginekologi seperti yang dialami dokter Ayu. Dalam menilai malah benar tidaknya Dokter Ayu bila ingin penilaian yang berkualitas, harus dilakukan dokter yang berkopeten dan berpengalaman banyak di bidang obsetri ginekologi dalam hal ini dokter spesialis Obsetri Ginekologi yang senior dengan subspesialis obsetri. Bila dilakukan penilaian dokter yang bukan sesuai bidangnya seringkali menimbulkan kesalahan atau pembiasan. Apalagi yang menilai Hakim Agung yang tidak berlatar belakang medis sedikitpun. Apalagi Hakim Agung hanya mempelajari berkas-berkas dakwaan yang ada tanpa menggali langsung opini dari saksi yang benar berkopeten dan berkualitas.
Meski Hakim Agung adalah seorang ahli hukum senior dan berpengalaman luas dan mempunyai integritas tinggi dalam bidang hukum, tetapi kemampuan menilai masalah medis sama dengan masyarakat awam lainnya. Jangan dianggap bahwa hakim senior tahu segalanya dan selalu benar tindakannnya dalam memvonis seseorang bila latar belakang atau pola pikir kemampuannya dalam menilai kasus seseorang khususnya masalah medis kemampuannya terbatas. Meski sudah ada saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan tidak mudah bagi hakim yang mempunyai keterbatasan di bidang medis dalam menganalisa dan mencerna masalah medis yang ada. Bila terjadi perbedaan vonis antara pengadilan negeri Menado dan hakim Agung bisa karena beberapa hal. Bisa karena pengalaman dan kemampuan hakim berbeda dalam menilai secara hukum. Bisa saja penilaian pengadilan negeri dan hakim Artdjo berbeda dalam menilai masalah medis. Bila perbedaan penilaian masalah hukum tidak masalah. Misalnya dokter Ayu dinyatakan bersalah oleh Hakim negeri Menado dengan menghukum 5 bulan, kemudian hakim tinggi menghukum 10 bulan. Bila terjadi perbedaan dalam penilaian masalah medis dan tidak berkaitan dengan masalah hukum merupakan kesalahan fatal. Bila dalam menilai kesalahan medis antara hakim pengadilan negeri dan hakim Agung karena perbedaan persepsi dalam menilai medis maka sangat disayangkan. Dengan data dan informasi yang sama dari pengadilan hakim pengadilan negeri Menado dan Hakim Agung menjadi berbeda.
Hakim Artidjo dan Tidak kebal Hukum
Dokter tidak kebal hukum karena banyak dokter yang dipenjara karena aborsi dan tindakan kriminal lainnya tidak pernah dipermasalahkan oleh sejawatnya. Tetapi masalahnya timbul ketika dokter dikriminaliusasikan saat penegak hukum salah menilai dan menerapkan hukum hanya keran tidak mempunyai kemampuan medis untuk memutuskan vonisnya. Memang di pengadilan hakim akan mengajukan saksi ahli tetapi pada akhirnya hjakim juga kesulkitan menilai dan mengolah informasi saksi tersebut saat masalahnya berkaitan dengan aktifitas medis. Belum lagi hakim karena tidak mempunyai pemahaman medis yang baik sering salah dalam menentukan saksi ahli yang kopeten. Dalam kasus dugaan malpraktek dokter Ayu. Dokter tersebut dianggap salah karena melakukan operasi pasien karena pasien dalam keadaan berat. Kondisi berat yang ada ternyata dibuat oleh saksi ahli dokter forensik yang tidak mempunyai kopetensi dan pengetahuan dan npengalaman di bidang obestri atau persalinan. Seharusnya dalam menilai beratnya kondisi pasien dari saksi ahli dokter obestri ginekologi.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar hakim Agung yang menjebloskan Dokter Ayu menegaskan, tidak ada satu profesi pun yang boleh ditempatkan berada di atas hukum. Hal itu sama saja dengan oligarki. “Jangankan dokter, hakim pun bisa dipidana, bisa dihukum berat. Kok (dokter) merasa mau berada di atas hukum. Tidak boleh di mana pun berada. Tidak ada konstitusi yang membenarkan. Tidak boleh ada arogansi profesi. Semua harus patuh pada hukum,” ungkap Artidjo, Rabu (27/11/2013). Pernyataan tersebut dilontarkan menanggapi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para dokter. Artidjo sebagai hakim senior berpengalama tidak salah mengemukan opini tersebut. Dalam kepakaran hukum dan integritasnya masyarakat tidak akan ada yang menyangsikan. Tetapi kelemahan Artidjo saat ini hanya menilai berdasarkan berkas yang ada tidak melakukan kontak langsung dengan saksi yang ada dan kualitas saksi yang dalam berkas. Harus juga diperhatikan kualitas berkas yang dikirimkan apakah seusai dengan fakta yang ada di persidangan. karena tidak mudah mencatat dan mendiskripsikan masalah medis dalam berkas dakwaan. Kelemahan utama lainnya adalah meski Artidjo pakar dalam hukum tetapi buta dalam masalah medis. Dalam latar belakang seperti itu sulit menilai benar tidaknya tindakan medis seorang dokter. Memang benar pendapat dokter Artidjo bahwa dokter tidak kebal hukum. Tetapi hakim Artidjo juga jangan merasa hakim yang paling benar dan paling hebat sebagai tangan Tuhan yang dapat menentukan vonis kepada dokter tanpa mengetahui permasalahan medis yang sebenarnya.
Bagi kalangan dokter mungkin tidak masalah bila hakim Artidjo memvonis dokter Ayu bila pasiennya meninggal karena tidak melakukan prosedur sesuai SOP (Standar Operasi Medis). Para dokter akan memberikan apresiasi bila hakim Artidjo memberikan hukuman seberat-beratnya bagi dokter yang melakukan aborsi atau korupsi. Tetapi para dokter menjadi meradang, merasa dianiaya secara hukum dan dikriminalisasi ketika Hakim Artido memvonis malpraktek dokter karena penyebabnya emboli. Emboli yang mengancam pasien adalah kondisi paling manakutkan bagi pasien dan dokternya karena tidak bisa diprediksi, sulit dicegah dan diatasi oleh dokter. Karena beratnya kasus emboli kadang hanya muhjizat yang dapat menyelamatkannya. Kasus emboli bagi pasien dan dokter adalah musibah medis bukan musibah hukum. Kasus emboli sangat jarang terjadi. Di Amerika kasus ini memiliki pervelensi 1 dari 80 ribu-100 ribu. Angka kejadian emboli air ketuban di Asia Tenggara mencapai 1:27 ribu persalinan. Hampir 90 persen ibu yang mengalami emboli akan berakhir dengan kematian, walau pertolongan sudah dilakukan selekas mungkin. Peluang hidup ibu yang mengalami emboli hanya 5 persen. Kendati begitu, hampir 75 persen ibu yang hidup mengalami cacat seumur hidup atau stroke.
Dampak Buruk
Dampak buruk dari dari kasus dr. Ayu ini akan membuat psikologis dokter akan takut melakukan tindakan-tindakan medis kepada pasien yang sedang kritis atau darurat. Padahal yang harus ditolong adalah karena adanya yurisprudensi dari hakim akan mengarah ke sana. Jika dampak itu terjadi, maka yang dirugikan sebenarnya bukanlah dari kalangan profesi dokter melainkan dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang akan mengalami kerugian terutama mereka yang di daerah terpencil dan miskin infrastruktur. Kalau seorang dokter hanya bisa melakukan upaya penyelamatan kepada seorang pasien. Dokter tidak bisa memberi janji kalau pasiennya akan sembuh. Seorang dokter hanya melakukan upaya kedokteran yang maksimal bukan menjanjikan hasil. Dampak vonis kontroversi hakim Artido saat ini sudah mulai terasa. Aksi solidaritas dokter justru menjadikan wajah dokter semakin terpuruk ketika media masa melakukan pemberitaan yang tidak berimbang terhadap dokter. Bahkan saat ini timbul fenomena arogansi dari masyarakat tertentu yang merasa bahwa dokter harus dipenjara bila pasien merasa tidak puas. Beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa pasien mengancam dokter untuk di”Menado”kan saat merasa tidak puas dengan dokter.
Tuntutan terhadap dokter di masa depan akan semakin meningkat pesat. Hal terjadi karena kesadaran pasien terhadap hak dan kesadaran hukum pasien meningkat. Tetapi diperburuk oleh terbatasnya kemampuan pasien atau kalangan penegak hukum dalam menilai tindakan medis dokter terhadap Standard Operasional Medis. Dokter tidak boleh divonis melakukan malpraktek bila sudah melakukan dan menjalani SOP dengan benar. Dokter memang tidak harus kebal hukum tetapi dokter harus juga menerima persamaan hukum yang sama. Idealnya dokyter tifdak bisa dituntut bila sudah melakukan tindakan sesuai ndengan kemampuan dan ktrampilan medisnya, bekerja dengan tulus dan bersungguh-sungguh, tidak menelantarkan pasien meski pasiennya cacat atau meninggal dunia.
Saat ini belum ada standar pelayanan medis yang dibuat pemerintah. Tanpa penyusunan standar tersebut, dokter dan dokter gigi bakal selalu rentan untuk dipidanakan. Yang berwenang menetapkan atau mebuat standard pelayanan medis adalah pemerintah dalam hal mini kementrian kesehatan. Namun standard medis sulit dibuat dan diterapkan di Indonesia karena perbedaan yang sangat besar tentang masalah kualitas dan kuantitas dokter dan sasrana dan prasana medis di setiap daerah di Indonesia. Pembuatan stndar medis bukan jamin bahwa masalah seperti akan timbul lagi. Masalah kesulitan penilaian pelanggaran dokter sebenarnya bukan sekedar ada tidaknya standar medis atau prosedur medis. Tetapi kesulitan penilaian benarnya tidaknya dokter melakukan tindakan medis tersebut. Hal ini diukur dengan SOP yang ada dalam setiap organisasi profesi di Indonesia dan SOP di setiap Rumah Sakit yang ada. Dari sinilah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran yang terdiri dari dokter-dokter yang berkopeten dalam bidangnya melakukan penilaian.
Saat ini bila ada pelanggaran malpraktek pesien mengajukan ke polisi dan polisi melakukan BAP dan polisi menetapkan bahwa tindakan dokter melanggar aturan dan undang-undang yang ada sehingga diajukan ke pengadilan setempat. Tetapi saat ini penegak hukum khususnya polisi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam menetapkan malpraktek dokter bila hal itu menyangkut masalah prosedur medis. Bila hal itu menyangkut masalah pelanggaran kriminal dan pelanggaran admistrasi seperti dokter pelaku aborsi, perlakuan tidak menyenangkan oleh dokter atau tidak memiliki SIP maka polisi atau hakim tidak kesulitan melakukan penegakan hukum. Idealnya bila terjadi dugaan malpraktek sebaiknya harus ditentukan dulu awalnya oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Bila ditemukan dugaan pelanggaran kriminal atau pelanggaran prosedur medis bisa diajukan ke polisi dan penegak hukum lain untuk diajukan ke meja hijau.
Namun sayangnya selama ini pasien merasa sering tidak puas dan merasa dikalahkan bila yang melakukan penilaian MKEK. Untuk mencegah hal itu perlu dibentuk badan tersendiri semacam Komisi Hukum Medis yang terdiri dari masyarakat awam, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran untuk menentukan adanya pelanggaran atau malpraktek sebelum diajukan ke polisis atau ke pengadilan. Bila hal ini dilakukan maka mengurangi kesenjangan dan kesalahan penilaian di bidang medis dan dapat lebih dipercaya bagi pasien yang merasa dirugikan. Dalam forum ini dokter yang berpengalaman dan yang berkopeten dalam bidangnya sekaligus dapat menjelaskan pada kalangan awam tentang fakta medis yang sebenarnya.
Terungkap luasnya kasus tersebut di media nasional menjadi malah semakin besar, justru tidak fokus dari masalah utamanya. Masalah utamanya adalah kematian pasien karena masalah naas gangguan emboli yang tidak dapat diprediksi dan dicegah ternyata melebar kemana-mana. Semua hal kecil kesalahan manusiawi dokter Ayu digiring, dikrimiminalkan dan dipaksakan sebagai penyebab kematian pasien.